Shariah 4 the world

Ditempa Dalam Universitas Kehidupan

Di tempat oleh universitas kehidupan
Setiap insan, pasti memiliki cerita yang berbeda dalam setiap kehidupannya untuk menggapai ridho Allah dan hidayah-Nya. Namun, cerita yang satu ini begitu menggugah, ketika seorang anak mencoba menggapai jalan yang Allah tunjukkan, dengan berbekal berbagai macam pertanyaan dan keinginan yang begitu kuatnya mengenai kehidupan yang sebenarnya. Kehidupan yang tak ia temukan maknanya dalam lingkungan keluarga dan sekitarnya.
Berikut ini adalah kisah seorang wanita, yang pernah memiliki karir cemerlang, dengan perekonomian keluarga yang bisa dibilang lebih dari cukup. Namun dibalik itu semua, batinnya kosong, walaupun secara lahiriah terpenuhi, apalagi pemahaman mengenai dienullah. Mari kita simak dan semoga kita sebagai anak maupun orang tua dapat mengambil ibroh (hikmah) dari cerita ini.

Aku dulu dengan karirku berjalan seiringan. Aku tak pernah merasakan tarbiyah islamiyah. Yang aku ingat hanya terakhir ketika SD, aku bisa sampai juz2 dalam membaca Al-Qur’an. Setelah itu, hidupku hanya berpatok pada dunia. Hobby yang membawaku pada sebuah kehidupan yang penuh dengan kenikmatan duniawi. Bahkan sampai-sampai aku sibuk sendiri dengan hobbyku, sehingga membuatku jarang berada dirumah. Terkadang sampai larut malam aku baru pulang karena tuntunan karirku. Memang tak seberapa honor yang aku dapatkan, tapi mulai dari situlah kedua orang tuaku jarang memberikanku tambahan uang.
Keluargaku, bukanlah keluarga yang harmonis. Kedua orang tuaku selalu bertengkar karena masalah yang kecil. Seringnya, karena masalah ekonomi. Tapi pernah juga karena ada “orang ketiga”. Dari kecil, dari TK sampai sekarang, aku merasakan pukulan-pukulan yang sampai pada diriku, ibuku dan adik-adikku. Pukulan batin dan pukulan fisik. Namun dulu aku tak peduli, semuanya aku lampiaskan keluar rumahku.
Dalam hidupku, semua keputusan berada ditangan kedua orang tua. Aku tidak boleh dan tidak bisa menentukan alur kehidupanku sendiri. Tidak ada pilihan, tidak ada komunikasi, tidak ada sharing. Aku hanya dipatok sebagai seorang anak yang harus menuruti apapun yang orang tua inginkan. Bukan pula aku sebagai teman atau sahabat, yang jika memberikan masukkan, dapat dipertimbangkan.
Ketika karirku mencapai puncak, banyak pertanyaan bersarang dikepala dan pikiranku mengenai agama, mengenai arti sebenarnya komunikasi dalam keluarga, mengenai arti sebenarnya peran orang tua, dan mengenai diriku sendiri.
Alhamdulillah, hidayah pun aku jemput, aku nikmati proses demi proses. Sampailah aku pada suatu masa yang membuat kedua orang tuaku semakin beringas. Hijrah yang kulakukan, ma syaa Allah, tak terbayang prosesnya bisa secepat ini.
Bahkan aku tak pernah menyicip sedikitpun dunia tarbiyah. Apa yang bisa aku ketahui? Uang pun aku tak punya simpanan lagi. Hidupku yang mewah dan serba boros dulu, aku tinggalkan. Karirku aku tinggalkan. Pemahaman mengenai dienullah pun tidak ada dalam hati dan pikiranku. Hanya aku dan Allah disini.
Berdakwah.. ya berdakwah kepada keluarga dan khususnya kedua orang tuaku. Sulit, sangat sulit. Mental yang sudah down karena tekanan dari kecil, membuatku merasakan trauma yang sangat panjang. Aku sendiri bahkan tak tau harus bagaimana mengatasinya.
Diam.. ya diam. Setiap kata yang terucap dari lisanku, sepertinya bagai api naga yang akan membuat mereka selalu marah.
Hingga sekarang, aku masih ditempa oleh Allah Ta’ala dalam universitas kehidupan. Yang mana akupun tak mengharapkan ijazah bertuliskan kata “dengan pujian”. Aku pun tak mengharapkan, orang-orang akan melirikku. Dan aku pun masih disini, dalam ketakutan yang begitu hebat, ketika berhadapan dengan kedua orang tuaku..
Melihat cerita diatas, ketika kita tidak pernah dihadapkan pada keluarga yang memberikan Tarbiyah Islamiyah, justru kita sendiri yang akan menjalani berbagai pelajaran dan pengajaran dalam universitas kehidupan. Kehidupan dan diri kita sendiri yang akan menentukan arah perjalanan kita. Apakah lurus ataukah berbelok? Bukan bermaksud menyalahkan, tapi ternyata Allah Ta’ala telah menakdirkan jalan yang lebih indah.
Jika kita sekarang merasa sedang di tempa pada universitas ini, maka saatnya untuk bangkit menghadapi kenyataan! Bahwa hanya dengan dienullah ini kita bisa menjadi lebih baik. Bukan dengan angan-angan belaka dari angin yang datang berhembus, entah darimana asalnya.
Wallahua’lam bisshowab

0 komentar:

Posting Komentar