Ditempa Dalam Universitas Kehidupan
Setiap
insan, pasti memiliki cerita yang berbeda dalam setiap kehidupannya
untuk menggapai ridho Allah dan hidayah-Nya. Namun, cerita yang satu ini
begitu menggugah, ketika seorang anak mencoba menggapai jalan yang
Allah tunjukkan, dengan berbekal berbagai macam pertanyaan dan keinginan
yang begitu kuatnya mengenai kehidupan yang sebenarnya. Kehidupan yang
tak ia temukan maknanya dalam lingkungan keluarga dan sekitarnya.
Berikut ini adalah kisah seorang wanita,
yang pernah memiliki karir cemerlang, dengan perekonomian keluarga yang
bisa dibilang lebih dari cukup. Namun dibalik itu semua, batinnya
kosong, walaupun secara lahiriah terpenuhi, apalagi pemahaman mengenai
dienullah. Mari kita simak dan semoga kita sebagai anak maupun orang tua
dapat mengambil ibroh (hikmah) dari cerita ini.
Aku dulu dengan karirku berjalan
seiringan. Aku tak pernah merasakan tarbiyah islamiyah. Yang aku ingat
hanya terakhir ketika SD, aku bisa sampai juz2 dalam membaca Al-Qur’an.
Setelah itu, hidupku hanya berpatok pada dunia. Hobby yang membawaku
pada sebuah kehidupan yang penuh dengan kenikmatan duniawi. Bahkan
sampai-sampai aku sibuk sendiri dengan hobbyku, sehingga membuatku
jarang berada dirumah. Terkadang sampai larut malam aku baru pulang
karena tuntunan karirku. Memang tak seberapa honor yang aku dapatkan,
tapi mulai dari situlah kedua orang tuaku jarang memberikanku tambahan
uang.
Keluargaku, bukanlah keluarga yang
harmonis. Kedua orang tuaku selalu bertengkar karena masalah yang kecil.
Seringnya, karena masalah ekonomi. Tapi pernah juga karena ada “orang
ketiga”. Dari kecil, dari TK sampai sekarang, aku merasakan
pukulan-pukulan yang sampai pada diriku, ibuku dan adik-adikku. Pukulan
batin dan pukulan fisik. Namun dulu aku tak peduli, semuanya aku
lampiaskan keluar rumahku.
Dalam hidupku, semua keputusan berada
ditangan kedua orang tua. Aku tidak boleh dan tidak bisa menentukan alur
kehidupanku sendiri. Tidak ada pilihan, tidak ada komunikasi, tidak ada
sharing. Aku hanya dipatok sebagai seorang anak yang harus menuruti
apapun yang orang tua inginkan. Bukan pula aku sebagai teman atau
sahabat, yang jika memberikan masukkan, dapat dipertimbangkan.
Ketika karirku mencapai puncak, banyak
pertanyaan bersarang dikepala dan pikiranku mengenai agama, mengenai
arti sebenarnya komunikasi dalam keluarga, mengenai arti sebenarnya
peran orang tua, dan mengenai diriku sendiri.
Alhamdulillah, hidayah pun aku jemput,
aku nikmati proses demi proses. Sampailah aku pada suatu masa yang
membuat kedua orang tuaku semakin beringas. Hijrah yang kulakukan, ma
syaa Allah, tak terbayang prosesnya bisa secepat ini.
Bahkan aku tak pernah menyicip
sedikitpun dunia tarbiyah. Apa yang bisa aku ketahui? Uang pun aku tak
punya simpanan lagi. Hidupku yang mewah dan serba boros dulu, aku
tinggalkan. Karirku aku tinggalkan. Pemahaman mengenai dienullah pun
tidak ada dalam hati dan pikiranku. Hanya aku dan Allah disini.
Berdakwah.. ya berdakwah kepada
keluarga dan khususnya kedua orang tuaku. Sulit, sangat sulit. Mental
yang sudah down karena tekanan dari kecil, membuatku merasakan trauma
yang sangat panjang. Aku sendiri bahkan tak tau harus bagaimana
mengatasinya.
Diam.. ya diam. Setiap kata yang terucap dari lisanku, sepertinya bagai api naga yang akan membuat mereka selalu marah.
Hingga sekarang, aku masih ditempa
oleh Allah Ta’ala dalam universitas kehidupan. Yang mana akupun tak
mengharapkan ijazah bertuliskan kata “dengan pujian”. Aku pun tak
mengharapkan, orang-orang akan melirikku. Dan aku pun masih disini,
dalam ketakutan yang begitu hebat, ketika berhadapan dengan kedua orang
tuaku..
Melihat cerita diatas, ketika kita tidak
pernah dihadapkan pada keluarga yang memberikan Tarbiyah Islamiyah,
justru kita sendiri yang akan menjalani berbagai pelajaran dan
pengajaran dalam universitas kehidupan. Kehidupan dan diri kita sendiri
yang akan menentukan arah perjalanan kita. Apakah lurus ataukah
berbelok? Bukan bermaksud menyalahkan, tapi ternyata Allah Ta’ala telah
menakdirkan jalan yang lebih indah.
Jika kita sekarang merasa sedang di tempa
pada universitas ini, maka saatnya untuk bangkit menghadapi kenyataan!
Bahwa hanya dengan dienullah ini kita bisa menjadi lebih baik. Bukan
dengan angan-angan belaka dari angin yang datang berhembus, entah
darimana asalnya.
Wallahua’lam bisshowab
0 komentar:
Posting Komentar