Shariah 4 the world

Menanamkan pada anak sikap untuk mengadu hanya kepada Allah

Nasihat Ummi
Azza Jamilah untuk Al-Mustaqbal Channel
Berikut lanjutan Seri Mendidik Anak Perempuan, karya Syekh Abdul Mun’im Ibrahim. Pada pembahasan kali ini, penulis menjelaskan sebuah sikap pada diri anak untuk hanya mengadu kepada Allah SWT., atas segala masalah yang dia hadapi. Semoga bermanfaat!
RasulullahShalallahu ‘alaihiwasallam secara nyata mendidik putra-putri kaum muslimin untuk selalu mengadu hanya kepada Allah SubhanallahuwaTa’ala. Dan selalu mengingat-Nya baik ketika sedang dalam keadaan senang mau pun susah.
Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa pernah suatu hari ia naik di belakang RasulullahShalallahu ‘alaihiwasallam, lalu beliau berkata kepadanya, “Anakku, aku ingin mengajarimu beberapa kalimat. Jagalah Allah maka Dia akan menjagamu. Jagalah Allah, maka kamu akan mendapatkan-Nya berada di depanmu. Jika kamu meminta, maka mintalah kepada Allah.

Jika kamu meminta pertolongan, maka mintalah pertolongan kepada Allah. Ketahuilah bahwa jika seandainya umat bersepakat untuk memberi manfaat kepadamu, maka mereka tidak akan mampu memberikan manfaat kecuali yang telah ditetapkan oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala untukmu, dan jika seandainya mereka bersepakat untuk mencelakakan kamu, maka mereka tidak akan mampu mencelakakan kamu kecuali jika hal itu memang telah ditetapkan oleh-Nya.

Pena telah diangkat (ungkapan yang berarti bahwa semua ketentuan telah dituliskan sebelum penciptaan) dan lembaran buku telah kering (ungkapan yang berarti bahwa penulisan takdir telah usai)” [Ahmad Syakir berkata, “Ini adalah hadits kesembilan belas dari hadits al-Arba’iinan Nawawiyyah. Imam Nawawi berkata, “HR Tirmidzi.” Ia juga berkata, “Hadits hasan sahih.” Hadits ini juga terdapat dalam al-Musnad (1/293)].
Para Salafush shaalih mengajarkan hal ini kepada anak-anak perempuan mereka. Dalam kitab Shifatush Shafwan, Ibnu Jauzi meriwayatkan dari Abdullah bin Muhammad bin Wahb, ia berkata, “Yahya bin Mu’adz memiliki anak perempuan yang masih kecil, lalu suatu ketika anak perempuannya tersebut meminta sesuatu kepadanya, lalu Yahya bin Mu’adz berkata kepadanya, “Putiku, mintalah permintaanmu itu kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala.” Lalu si anak berkata, “Ayah, apakah aku tidak malu datang kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala, hanya untuk meminta sesuatu yang dimakan?” [Shifatush Shafwah (4/357)]
Bentuk pendidikan yang diberikan oleh as-Salafush shaalih kepada anak-anak perempuan seperti inilah yang mampu menghasilkan anak-anak perempuan yang memiliki keimanan sangat kuat. Mereka tidak akan rela jika ada sesuatu yang menjadi sekutu bagi Allah ketika mereka memohon kepada-Nya. Bahkan, jika ada seseorang yang datang kepada mereka untuk memberikan pertolongan tanpa mereka minta, maka mereka menganggap bahwa hal itu berarti pengusiran terhadap mereka dari pintu Allah.
Dalam kitab Shifatush shafwah, Ibnu Jauzi meriwayatkan dari ‘Affan bin Muslim, ia berkata bahwa Hammad bin Salamah bercerita kepadaku, “Pada suatu waktu, hujan yang begitu deras terus-menerus turun, dan hal ini berlangsung selama satu tahun. Aku memiliki tetangga seorang perempuan ahli ibadah, ia memiliki empat anak perempuan yang telah yatim ditinggal mati oleh bapaknya, dan rumahnya berada dekat di samping rumahku. Akibat hujan yang terus-menerus turun, atap rumahnya runtuh dan menimpa mereka semua. Ketika itu aku mendengar ia berkata, “Sahabat, kasihanilah kami,” maka seketika itu hujan berhenti.

Lalu aku mengambil kantong  yang di dalamnya berisi beberapa dinar, lalu aku datang dan mengetuk pintu rumahnya. Ia berkata, “Ya Allah, semoga yang datang adalah Hammad bin Salamah.” Lalu aku berkata, “Ini aku, Hammad bin Salamah,” lalu aku mengeluarkan kantong yang berisi uang tersebut seraya berkata, “Manfaatkanlah uang ini.” Ketika itu, tiba-tiba ada seorang anak perempuan kecil yang mengenakan baju yang sudah compang-camping mendekatiku dan berkata, “Apakah tidak lebih baik jika anda diam, wahai Hammad? Apakah kamu ingin menghalang-halangi jarak antara kami danTuhan kami?” kemudian ia berkata kepada ibunya, “Ibu, bukankah kita telah tahu bahwa jika kita mengadu kepada Tuhan agar mengirim kepada kita dunia, maka Dia akan mengusir kita dari pintu-Nya?” kemudian anak perempuan tersebut menempelkan pipinya ke tanah sambil berkata, “Adapun aku, demi kuasa-Mu ya Allah, hamba tidak akan meninggalkan pintu-Mu walaupun Engkau mengusirku.” Kemudian sang ibu berkata, “Wahai Hammad, kembalikan dinarmu itu ke tempat di mana sebelumnya berada, karena kami hanya akan mengadukan segala kebutuhan kami kepada Zat Yang menerima titipan dan Zat Yang tidak akan membuat rugi orang-orang yang beramal.”  Para perempuan salehah terdahulu melihat bahwa pandangan (pertolongan) Allah kepada mereka jauh lebih mencukupi daripada pandangan manusia.
Imam Ibnul Qayyim berkata, “Telah sampai kepada kami bahwa penguasa daerah tempat Hatim al-Asham tinggal, suatu ketika melewati pintu rumah Hatim. Lalu sang penguasa tersebut meminta air minum, setelah selesai minum, sang penguasa tersebut melempar sejumlah uang kepada Hatim, lalu para sahabat Hatim menyetujui untuk menerima uang tersebut.

Seluruh isi rumah pun bergembira atas uang yang mereka terima tersebut, kecuali seorang bocah perempuan, justru ia malah menangis. Lalu ditanyakan kepadanya, “Apa yang membuat kamu menangis anak kecil?” ia menjawab, “Seorang makhluk memandang (memberi bantuan) kepada kita, dan dengan bantuan tersebut kita pun menjadi orang yang kecukupan, lalu bagaimana jika seandainya yang memandang kepada kita adalah Sang Pencipta, Allah Ta’ala?”
Sumber: Tarbiyyatul Banaat fil Islaam–Mendidik Anak Perempuan, karya Syekh Abdul Mun’im Ibrahim

0 komentar:

Posting Komentar